Jumat, 28 September 2012
Kisah Polisi Kanagawa dan Andaikan Terjadi di Indonesia
Sebetulnya peristiwa ini terjadi sudah lama sekali, sekitar dua belas tahun lalu, namun bila dikaitkan dengan peristiwa actual di Indonesia, peristiwa ini masih relevan untuk dibahas. Ketika itu saya tinggal di sebuah kota kecil di sebelah utara Tokyo untuk belajar. Saya merasakan tinggal di Jepang rasanya hambar kalau untuk ukuran orang dari dunia hiruk-pikuk untuk orang Indonesia. Karena apa?, karena perilaku orang Jepang sangat mekanistis, karena disiplinnya. Misalnya, saya pernah menyaksikan seorang Jepang yang akan menyeberang jalan di suatu perempatan dalam keadaan hujan lebat, sementara jalan sepi, yang sebetulnya Nihon-jin bisa saja menyeberang, namun itu tidak dilakukannya karena lampu untuk tanda menyeberang masih merah, dia rela berbasah-basahan. Mungkin kalau untuk orang Indonesia, ada kesempatan nyeberang karena jalanan kosong, ya menyeberang saja walaupun lampu tanda menyeberang masih merah.
Waktu itu Bahasa Jepang saya pada taraf bisa untuk mengikuti berita di TV lokal berbahasa Jepang. Berita nasional dan lokal di TV NHK dan TV lokal umumnya didominasi oleh berita politik dan pedesaan. Berita kriminal sangat jarang, kalaupun ada, berita ini sangat langka dan menjadi headline di TV-TV lokal dan diulang sampai berhari-hari. Misalnya perampokan yang dilakukan oleh orang Kolombia di kawasan Tokyo sebelah selatan, atau hanyutnya seorang Jepang yang sedang kemping, karena bendungan di hulunya melepaskan air banjir, padahal prosedur di Jepang, apabila satu bendungan akan melepaskan air, maka harus ada pemberitahuan ke daerah hilirnya melalui sistem peringatan yang ada. Berita ini berulang-ulang disiarkan sampai berhari-hari mulai dari penyelidikan kenapa orang itu berkemah di pinggir sungai, apakah pihak pengelola bendungan sudah mengeluarkan peringatan dini sebelum melepaskan air dari bendungan ke sungai bagian hilirnya, di samping upaya pencarian dan penyelamatan orang Jepang yang hanyut itu. Sampai semuanya clear tidak ada masalah kesalahan prosedur dari pengelola bendungan atau apa tergantung dari hasil penyelidikan polisi dan pihak yang berwenang.
Suatu ketika saya menyaksikan berita di TV lokal mengenai pemerasan oleh seorang anggota polisi dari sebuah precinct (setingkat polsek) di suatu kawasan yang saya sudah lupa namanya di kawasan Prefecture Kanagawa. Besaran pemerasan oleh polisi sebetulnya tidak banyak untuk ukuran Indonesia dan juga Jepang, hanya sekitar 500,000 Yen (atau mungkin sekitar 50 juta rupiah waktu itu). Pihak yang diperas melapor kepada polisi di tingkat yang lebih tinggi. Tanpa banyak cingcong dan alasan asas praduga tidak bersalah lah, jeruk makan jeruk lah, ini dan itu, diselidikilah kejadian ini, dan inilah Jepang, petugas kepolisian yang dituduh itu dengan jujur mengakui (bayangkan kalau di Indonesia, pasti ini polisi ngeles dengan berbagai dalil dan alasan, karena tidak ada bukti, yang ada hanya saksi pelapor tidak ada saksi lain). Polisi ini mengakui bahwa dia memeras, walaupun uang hasil perasannya belum sampai ke tangan dia. Dia mengakui bak seorang shogun duduk di lantai dengan kepala tertunduk di hadapan boss-nya. Dia minta maaf dan bersedia dihukum sesuai dengan perbuatan yang telah dia lakukan.
Peristiwa ini merebak luas, karena disiarkan oleh TV lokal dan NHK siaran lokal terus menerus, sehingga mungkin sampai ke telinga Kepala Kepolisian Kanagawa Prefecture. Inilah wajah kepolisian yang sangat membanggakan yang mungkin tidak akan pernah terjadi di Indonesia. Kapolda Kanagawa menyatakan bertanggung jawab atas kejadian itu. Beliau beralasan, sebagai Kapolda Kanagawa yang merupakan pimpinan tertinggi kepolisian kawasan itu yang membawahi polisi yang memeras itu, harus bertanggung jawab, dan sebagai atasan beliau merasa tidak bisa membina anak buahnya dengan baik, dan dengan rasa penyesalan sedalam-dalamnya, maka beliau mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kapolda Kanagawa. Pengunduran Kapolda Kanagawa ini membawa efek domino yang juga mengakibatkan pengunduran diri Kapolres dan Kapolsek yang mempunyai garis komando langsung si petugas kepolisian yang memeras itu, padahal Kapolres dan Kapolda tidak berhubungan langsung dengan peristiwa itu, mungkin kalaupun akan mengundurkan diri, haruslah Kapolseknya saja yang merupakan atasan langsung dari petugas kepolisian yang memeras itu. Menyaksikan tragedi ini, waktu itu saya merasa terharu, karena melihat betapa pejabat kepolisian Jepang sangat menjunjung moral dan etika.
Mari kita berpikir, andaikan hal yang sama terjadi di instansi kepolisian Indonesia, misalnya (ini misalnya ya) si pemeras adalah anggota kepolisian Polsek Leuwiliang, terus ujug-ujung Kapolda Jawa Barat yang tidak tahu menahu pemerasan itu mengundurkan diri karena merasa bertanggung jawab secara moral. Sesuatu hil yang mustahal terjadi di Indonesia! Apakah mungkin si polisi pemeras itu mengakui secara jujur bahwa dia memeras? Sesuatu hil yang mustahal juga! Ibarat menunggu lebaran kucing. Saya kira kejujuran sudah merupakan barang langka (atau mungkin sudah lama hilang) pada bangsa kita ini. Yang ada mungkin, si polisi pemeras ngeles dengan berbagai alasan karena tidak ada bukti, dan Kapolda Jawa Barat serta Kapolres Bogor pun tetep saja pada jabatannya, alias tidak akan mengundurkan diri, karena merasa tidak perlu dan tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan peristiwa korupsi di Korlantas yang melibatkan mantan Kepala Korlantas, saya membayangkan apakah mungkin polisi kita mempunyai tanggung jawab etik dan moral seperti polisi Jepang, misalnya Kapolri mengundurkan diri dengan alasan tanggung jawab moral karena sebagai atasan tidak bisa membina bawahan, rasanya suatu hil yang super mustahal. Atau mungkin, yang terlibat dengan korupsi simulator SIM itu ngaku terus terang bahwa dia korupsi dan bersedia mengembalikan serta mendapatkan hukuman yang setimpal, ini pun suatu hil yang super duper mustahal!
Pak Kapolri, kami tidak menuntut yang macam-macam dengan pengunduran diri Bapak, pecat saja yang terlibat korupsi langsung tanpa menunggu keputusan pengadilan dan lain-lain, dari instansi kepolisian. Ini pun sudah merupakan hadiah super berharga dari Bapak sebagai Kapolri. Dengan tindakan ini, saya yakin akan langsung melambungkan nama instansi Kepolisian Republik Indonesia yang saat ini sudah kehilangan kepercayaan dari sebagian besar masyarakat Indonesia, itu saja Pak simpel kan, tapi bisakah?
sumber : http://birokrasi.kompasiana.com/2012/08/02/kisah-polisi-kanagawa-dan-andaikan-terjadi-di-indonesia/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar