Kematian maestro seni lukis asal Belanda, Vincent van Gogh, pada 1890, hingga kini masih menjadi misteri. Beberapa spekulasi pun merebak saat para saksi sejarah, peneliti, dan pengamat kehidupannya melontarkan kesimpulan yang berbeda.
Berbagai penelitian terkait kematiannya pun terus dilakukan. Bermacam-macam buku tentang van Gogh pun diluncurkan. Namun, hingga kini penyebab kematiannya pun belum bisa dipastikan.
Sebagian besar spekulasi yang dipercaya, Vincent van Gogh menderita tekanan mental dan bunuh diri di Auvers-sur-Oise, Prancis, tahun 1890 pada usia 37 tahun.
Hal tersebut kemudian dicoba dijawab dua orang penulis handal bernama Steven Naifeh dan Gregory White Smith. Tak tanggung, kedua orang penulis itu mengajak lebih dari 20 penerjemah dan peneliti untuk memecahkan misteri kematian van Gogh.
Setelah melakukan penelitian selama 10 tahun, kedua penulis itu pun dengan yakin meluncurkan hasil karyanya untuk ikut melucuti misteri kematian van Gogh. Hasil karya itu berbentuk buku biografi Vincent van Gogh dengan judul The Life (Kehidupan). Buku The Life mulai terbit Senin (17/10).
Penelitian selama satu dasawarsa itu menghasilkan simpulan yang mencengangkan bagi pengamat van Gogh. Dalam buku itu, kedua penulis menyimpulkan bahwa kematian Vincent van Gogh bukan karena bunuh diri melainkan terbunuh tanpa sengaja.
Selama ini, sebagian besar orang mengira dia menembak dirinya sendiri di sebuah ladang, sesaat sebelum akhirnya dia kembali ke penginapan dan meninggal dunia. Namun, menurut kedua penulis itu, van Gogh sesungguhnya tak sengaja tertembak oleh dua anak yang dikenalnya sebagai bocah pemilik senjata api rusak.
"Jelas buat kami bahwa dia bukan pergi ke ladang gandum itu untuk bunuh diri. Pemahaman sejumlah orang di Auvers di antara orang-orang yang kenal dirinya adalah dia terbunuh dalam kecelakaan yang melibatkan dua bocah dan dia memilih melindungi mereka dengan mengaku menembak diri sendiri," ujar Steven Naifeh.
Kesimpulan ini, menurut penulis, didukung hasil penelitian sejarawan seni, John Rewald, yang merekam kejadian tersebut saat mendatangi Auvers tahun 1930-an. Beberapa rincian kejadian juga dianggap mendukung teori itu.
Termasuk di antaranya penjelasan bahwa ternyata peluru yang menembus bagian perut atas Van Gogh datang dari sudut yang aneh Bukan lurus dari arah tembakan sendiri seperti yang dipercaya selama ini.
"Dua bocah ini, satu di antaranya mengenakan baju koboi dan pistol rusak yang dipakainya bermain tembak-tembakan, diketahui minum-minum saat itu bersama Vincent. Jadi ada dua anak remaja dengan pistol tak berfungsi, ada satu anak yang senang main koboi, lalu ada tiga orang yang mungkin minum terlalu banyak," lanjut Naifeh.
Sementara itu, Gregory White Smith menilai van Gogh tidak dengan sengaja mencari mati. van Gogh menerima kematiannya karena didasari sebagai bukti cinta untuk adiknya, yang telah memikul semua beban dirinya. Seperti diketahui, adik van Gogh bernama Theo, merupakan orang yang membiayai hidup sang maestro kala dirinya sudah tidak laku.
Selain penyebab kematian van Gogh, The Life juga mencoba untuk mengungkapkan temuan baru lainnya. Beberapa temuan baru itu adalah keluarga van Gogh pernah mencoba memasukkannya ke rumah sakit jiwa jauh sebelum akhirnya dia setuju dirawat di sana.
Lalu, van Gogh juga pernah menentang keras ayahnya yang seorang pendeta gereja. Menurut sebagian anggota keluarganya, Van Gogh membunuhnya. Selain itu, kesengsaraan yang diderita Van Gogh merupakan hasil dari campuran antara maniak dan depresi akibat dari penyakit epilepsinya.
Dengan bantuan banyak peneliti dan penerjemah, Naifeh dan Smith berhasil menyisir ribuan surat sang maestro yang belum pernah diterjemahkan sebagai bahan studi dan dokumen untuk membangun basis data yang berisi 28.000 catatan. Alhasil, The Life pun diharapkan memberi pemahaman lebih terhadap sosok seniman handal namun rapuh dan lemah itu. (BBC/MI/*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar