Terperangkap Dalam Badai

 

{Apa yang bisa dinikmati orang kota? Tak ada samudra tanpa batas di sini. Juga hijau pegunungan alami. Hanya awan Dengan langit megahnya. Tempat angan-angan mengembara} Fiuh.

Kuhembuskan nafas sambil tersenyum entah pada siapa. Mungkin pada gadis-gadis yang sedang bermain di taman ini. Atau pada awan sore yang teduh. Cukup lama aku melamun sendiri, hanya menelan waktu yang tak habis-habisnya. Bodohnya aku. Aku seorang pemalu. Belum pernah berani menyapa seorang gadis lalu berkenalan. Padahal mereka sering kulihat di kompleks ini. Tapi, kujamin, tak ada satupun yang tahu namaku. Aku orang yang sangat tidak dikenal. Aku ada, tapi keberadaanku diabaikan. Begitulah pendapatku tentang diriku.

Lalu, tak pernah adakah keberanian dari dalam diri ini?
Untuk sekedar menyapa lalu bercengkrama pada seorang saja gadis di sana?

Tidak. Aku bukan tipe itu. Kuhembuskan nafas panjang, kali ini sambil membodohi diri. Si pemalu yang hidup dalam dunia sel-sel kelabu. Kapan kamu mengenal dunia yang sebenarnya? Namaku Taksaka, artinya sang naga. Terlalu berat nama itu, karena aku sendiri merasa biasa-biasa saja. Terlampau biasa untuk seorang pemuda 18 tahun. Aku masih tinggal bersama keluarga di sini. Di salah satu kawasan rumah susun di Jakarta. Tak ada lagi yang bisa kulakukan di Sabtu sore ini. Aku masih melamun menikmati irama orang-orang. Uh, untuk apa aku pulang cepat, tak ada yang bisa kulakukan di rumah. Orang tua sedang arisan di puncak, baru pulang Minggu. Kakak adik sedang pergi entah ke mana. Malam mingguan. Sedangkan Aku?

{Ha ha ha... Tertawakanlah dirimu, hai si Bodoh. Hanya pemberani yang berhak hidup di dunia ini. Sedangkan kau, Hanya figuran tak berarti}

Tes... tes... Hujan gerimis. Padahal mentari masih bersinar, membuai orang-orang menikmati senja. Aku bergegas pulang. Hmm, hujan orang meninggal, pikirku lugu. Keramaian taman makin menghilang. Sibuk orang-orang menyelamatkan diri dari titik-titik air. Lalu menyelamatkan yang lainnya, jemuran pakaian dan kasur. Gerimis meningkatkan frekuensinya menjadi lebat. Hujan deras. Di depan flatku seorang wanita muda mengangkati jemurannya yang cukup banyak. Kelihatannya kurang mengantisipasi akibat baru bangun tidur. Masih memakai piyama.

"Saka, bantuin Tante dong!"
Tanpa bicara aku membantunya. Sprei, kelambu, baju, t-shirt, dan ...ih, pakaian dalam. "Bawa ke mana, Tante?"
"Sekalian ke dalam aja!" Tante Ilya berjalan di depanku. Menaiki tangga hingga lantai dua. Aku cukup puas menikmati irama pinggulnya yang kukira agak dibuat-buat. Saat menghadap ke arah terang, siluet tubuhnya jelas membayang. Seakan telanjang. Kami masuk ke rumahnya. Tante Ilya menggeletakkan jemuran di sudut kamarnya, akupun mengikutinya.

"Makasih ya? Kamu mau minum apa, Ka?" tanyanya yang langsung menghentikan maksudku untuk langsung pulang.
"Apa aja deh, Tante. Asal anget." Kurebahkan diri di sofanya. Hmm, lumayan nyaman. Untuk ukuran rumah susun yang biasanya berinterior sederhana, Tante Ilya berhasil mengubahnya menjadi rumah yang nyaman. Kamarnya hanya satu, lalu ada ruang makan sekaligus dapur, kamar mandi yang cukup besar, dan ruang tamu ini yang dipakai sebagi ruang keluarga pula. Ruang ini yang lumayan mewah. TV 29 inch lengkap dengan video dan ld/vcd player. Stereo set yang lengkap, plus barang elektronik lainnya dalam rak. Tante Ilya belum mempunyai anak. Yang kutahu, suaminya, Om yang tak kutahu namanya itu hanya sekali-kali pulang. Dengar-dengar pekerjaanya sebagai pelaut. Ha ha, pelaut. Di mana mendarat, di situ membuang jangkar. Sinis sekali aku.

"Om belum pulang, Tante?" tanyaku basa-basi sambil menerima teh hangat.
"Belum, nggak tentu pulangnya. Biasanya sih, hari Minggu. Tapi hari Minggu kemarin nggak pulang juga."
"Tante nggak kemana-mana?"
"Mau kemana, paling cuma di rumah saja. Kalau ada Om baru pergi-pergi."
Aku tersenyum. {Kasihan kau wanita. Tunduk saja di bawah laki-laki. Hidupmu dalam tempurung. Pergipun dicocok jalannya}
"Eh, kamu nggak ada keperluan lain, kan?"
"Nggak, Tante," jawabku. Mau apa aku di rumah, sendirian, di tengah hujan yang semakin lebat begini.
"Temenin Tante ya. Ngobrol."
Aku mengangguk saja. Diam. Bahkan ketika Tante memasukkan sendalku dan mengunci pintu. Nggak aman sendal di luar, katanya. Pintu yang dikunci? Ah, mungkin kebiasaan. Kamipun terlibat dalam obrolan yang biasa saja. Sekedar ingin tahu kehidupan masing masing. Dari ucapannya, kutahu bahwa suaminya bernama Om Ridwan. Jarang pulang. Aku mendapat kesimpulan bahwa Tante bukan istri satu-satunya, dari penuturan Tante sendiri. Yang cukup membuat darahku berdesir agak cepat adalah daster itu. Seakan aku bisa melihat dua titik di dadanya, yang timbul tenggelam ketika kami bercengkrama. Tangan Tante Ilya cukup atraktif. Entah sengaja atau tidak sering menyentuh tanganku, atau mampir di pahaku. Makin lama duduknya pun semakin dekat. Hingga...

"Saka, mau nonton film nggak? Tante punya film bagus nih."
Wah untunglah. Rumahku tidak mempunyai vcd player. Selama ini jika mau nonton hanya di komputer atau rumah teman. Film di TV sebesar ini pasti asyik sekali dinikmati. Tante Ilya menyalakan TV lalu memasang film. Dan, astaga ternyata dia benar tidak memakai BH dan celana dalam. Aku bisa melihatnya jelas karena dia cukup lama berdiri menyamping, cahaya TV membuat gaun tidurnya menjadi selaput transparan. Bentuk payudara beserta putingnya beserta rambut di pangkal paha. Aku lebih ternganga lagi karena film itu. XXX. Kamu tahu artinya. Kembali Tante Ilya duduk di sampingku, malahan lebih dekat lagi. Tangannya mengusap-usap lenganku dengan lembut.

"Filmnya bagus ya?" Bisiknya pelan. Namun terdengar di telingaku bagaikan rayuan. Aku tak mampu menjawab karena bibir bawahku menahan ekstasi yang kuat. {Kau melakukannya dengan tepat. Membidikku saat tak berdaya. Melayangkanku dalam pesona. Mengikatku dalam jerat. Aku menyerah telak} Entah apa yang harus kulakukan kini. Mataku tak lepas dari wanita yang merintih di film itu, yang sudah distel suaranya pelan. Vaginanya dihujam penis dari belakang. Wajahnya memancarkan kepasrahan dan kenikmatan. Dan sementara gambar-gambar mesum itu terus berjalan... Tante Ilya menggenggam pergelangan tanganku. Dan, astaga. Dibawanya tanganku ke payudaranya.

Didiktenya tangan ini ke daerah yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Begitupula tangan kiriku. Kini masing-masing telapak tangan itu memegang rata masing-masing pasangannya, payudara. Pandanganku masih ke arah TV. Aku tak berani menatap wajah Tante Ilya. Malu, entah pada siapa. Tak pernah aku impikan hal ini terjadi. Sementara di TV desahan si gadis yang menghadapi dua batang penis makin membuat hot suasana.

"Saka, hadap sini dong," ujarnya manja. Kuhadapkan wajahku. Kulihat tatapan pengharapan di sana. Wajah Tante Ilya cukup cantik, dengan kulit putih dan senyuman manis yang menghiasinya. Aku masih memegang payudara itu, hanya memegang dengan daster yang melapisinya. Ah, tak terasa daster itu. Hanya payudara besar ini fokus pikiranku. Tanganku masih canggung, sementara ada sesuatu yang mulai menggeliat di bawah sana. Tiba-tiba dia menghentikanku, dengan cara yang sempurna. Tangannya merengkuhku dalam pelukan, sementara bibirnya mencium lembut. Payudaranya menghimpit dadaku. Dingin-dingin begini disuguhi yang empuk, membuat dadaku berdetak hingga aku merasa bisa mendengarnya. Apakah dia bisa mendengar detak ini? Ciumannya nikmat. Beda sekali sekali dengan apa yang ada di TV. Seakan ingin mengaliri dengan hangat jiwanya. Kami berciuman lama sekali, tak terasa tanganku ikut mendekapnya. Makin erat.

{Andai waktu berhenti. Dan biarkan kami dalam kenikmatan ini. Ketakpedulian pada segala. Yang membuat seisi alam iri. Aku dapat merasakan jiwamu. Dapatkah kau rasakan jiwaku? Bibir yang bertemu ini adalah dua jiwa yang bersatu. Kukira Inilah saat timbulnya sayang}

Ah, aku menjadi sedemikian naif. Tak mungkin ada rasa secepat ini. Ini adalah nafsu belaka. Kulepaskan dekapanku untuk mulai mengontrol diri kembali. Berakhirlah sesi ciuman itu.
"Kenapa Saka? Kamu marah ya?" tanyanya pelan. Tapi sialan, suara-suara di TV itu kembali mengacaukanku. Melumpuhkanku lagi dalam birahi.
"Maafin Tante ya? Tante..." Wajah itu mengeluarkan prana iba untuk dikasihi. Berbagai alasan kubuat dalam otak untuk meyakinkan logikaku bahwa hal ini bukan salah siapa-siapa. Bukan salah Tante. Bukan salahku. Kami hanya terbawa suasana badai Sabtu sore ini. Lalu nafsupun kembali merasukiku.

"Nggak koq Tante. Saya belum pernah melakukan ini sebelumnya, jadi canggung. Tapi, ...ngg..., boleh diterusin koq..." kataku memasang persetujuan.
"Bener mau terusin?" tanyanya berharap senang dengan wajah innocent. Aku hanya mengangguk, sambil kuberikan senyumku. Kubuat se-innocent mungkin, tak tampak tanduk iblis di sana. Dia kembali menciumku, cukup hangat. Namun tak sehangat tadi kurasa. Akupun tak mengharap ciuman kasih sayang, karena dariku juga tinggal nafsu. Kusadar itu, yang menguasaiku sekarang adalah nafsu. Ciuman-ciuman itu pindah ke leher dan telinga. Ah, tak pernah kubayangkan bahwa daerah ini lebih membuatku bergidik. Akupun menirunya. Kami saling menciumi leher, bahkan Tante Ilya sempat mencium keras.

"Aduh, Tante..."
"Ini namanya cupang, sayang. Necking belum lengkap tanpa membuat cupang."
"Aku juga bikin buat Tante, ya?" tanyaku sambil bersiap mencium lehernya lagi. "Jangan ah, kalau besok Om pulang, bagaimana?" tolaknya halus. Aku teringat kembali bahwa dia istri orang. Dia punya Om Ridwan yang harus dilayaninya. Sedangkan aku sekarang tak lebih sebagai pemuas sementara. Sebagai pemuas, ada hak-hak yang tak kumiliki. Rupanya Tante Ilya melihat sebersit kecewa dari wajahku. Dia lalu tersenyum dan berdiri. Perlahan dia melepas daster itu, mulai dari tangannya. Satu demi satu tangan daster itu terlepas. Daster melorot, tertahan sebentar di bulatan payudaranya yang besar. Dia menarik ke bawah lagi daster itu. Terlihat payudara, tanpa BH. Putih, bulat, besar, dengan puting susu berwarna merah muda. Agak silau mata ini kerenanya. Mulutku menganga kagum seakan ingin memakannya. Aku menelan ludah.

Diturunkannya lagi. Aku menikmati satu persatu sajian pemandangan itu. Perutnya putih dengan pinggang yang ramping. Pusarnya menjadi penghias di sana. Daster itu tertahan di pinggangnya. Oh, pantatnya menahan. Aku semakin berdebar, ingin mempercepat proses itu, aku ingin segera melihat kemaluannya. Diturunkan lagi, dan ah... vagina itu muncul juga. Dihiasi rambut berbentuk segitiga yang tak begitu lebat. Bibir vaginanya merah segar, sedikit basah. Untuk pertama kalinya aku melihat wanita bugil. Dengan senyumnya, bangga membuatku tergakum-kagum.

"Sekarang, kamu juga buka ya?" perintahnya manja. Aku membuka tshirtku. Tante Ilya membuka celanaku, menurunkan zipper. Lepas jinsku, masih ada celana pendek. Aku memang biasa memakai celana pendek sebelum celana dalam. Lepas celana pendek masih ada celana dalam. Tapi Tante Ilya tak segera membukanya. Dia jongkok lalu menjilati penisku dari luar celana dalam. Tampak noda basah sperma yang makin ditambah oleh air ludah. Aku tak percaya ada orang yang mau melakukan ini. Penis itu makin membesar dalam celana dalam, rasanya tak enak kerena tertahan. Segera kubuka dan ...hup keluarlah batang kemaluan diikuti dua bolanya. Tante Ilya mengecupnya, si penis tampak membesar. Semakin tegaknya penis diikuti dengan jilatan-jilatan lidah. Uff, enak sekali.

Kini gantian tangannya yang bekerja. Pertama dirabanya semua bagian penis, lalu mulai mengocoknya. Setelah kira-kira telah utuh bentuknya, tegak dan besar, dimasukkannya ke dalam mulut. Tante Ilya memandang ke atas, wajahnya berseri-seri seakan minta ingin menunjukkan kemampuannya atau minta persetujuanku.

"Teruskan Tante." Apa yang kau pikirkan saat dirimu telanjang dengan hanya celana dalam di lutut dan seorang wanita cantik memasukkan penismu ke mulutnya. Senang karena langsung mengalami sesuatu yang tak pernah terduga? Nyaman menikmati rangsangan? Bangga karena seperti memegang kendali permainan? Atau tak sanggup berfikir lagi? Yang jelas, aku harus menahan agar penis itu tak ejakulasi secepat ketika aku bermasturbasi. Aku tahu ini baru awal, masih ada kelanjutannya. Bahkan masih panjang.

Lidah Tante Ilya menjilat-jilat, kadang menggelitik penisku. Lalu mulai memajumundurkan mulutnya, seakan sebuah vagina menyetubuhi penis. Ini hebat sekali. Sekitar 15 menit permainan itu berlangsung, hingga...
"Tante, saya mau ke-luar..." kataku terengah-engah. Tante Ilya malah mempercepat kocokan mulutnya. Aku ikut memegang kepalanya. Dan keluarlah ia. Aku merasa ada 5 semprotan kencang. Tante Ilya tidak melepasnya, ia menelannya. Bahkan terus mengocok hingga habis spermanya. Lega rasanya tapi lemas badanku. Tante Ilya berdiri, kemudian kami berciuman lagi. Aku dapat merasakan spermaku di bibirnya, dan rasanya... lumayan juga.

"Sekarang gantian ya..." Kini aku menghadapi payudara siap saji. Pemiliknya sudah merelakan, tinggal aku yang memutuskan. Pertama kuraba-raba dengan kedua tanganku. Remasan itu kubuat berirama. Lalu aku mulai berkonsentrasi pada puting susu. Kutarik-tarik hingga payudaranya terbawa dan kulepaskan. Hmm, bagaimana rasanya ya? Aku mulai menjilatinya. Enak. Jilatanku pada satu payudara sementara tangan yang lain meremas satunya. Ketika kuhisap-hisap putingnya, terasa makin mancung, mengeras, dan tebal puting itu. Kulakukan pula pada payudara satunya. Oh, ternyata jika wanita terangsang, yang ereksi adalah puting susunya. Kira-kira 5 menit aku melakukannya dengan nikmat. Kemudian jilatanku turun, hingga vaginanya. Kucoba dengan jilatan-jilatan.

Kusibakkan lagi rambut kemaluannya agar jilatan lebih sempurna. Ada seperti daging kecil yang menyembul. Yang kutahu, itu adalah klitoris. Kuhisap seperti menghisap puting susu, eh Tante Ilya merintih.
"Hmm, Saka, jangan dihisap. Geli. Tante nggak kuat." Dan Tente Ilya benar-benar lunglai. Tubuhnya rebah ke sofa. Dia terlentang dengan paha mengangkang memperlihatkan vagina terbuka dan payudara yang berputing tegak. Aku lanjutkan lagi kegiatan ini. Makin lama kemaluannya makin basah. Jilatan dan hisapanku makin bersemangat, sementara di sana Tante meremas-remas payudaranya sendiri menahan ektasi. Tiba-tiba pahanya mendekap kepalaku dan ..serr seperti ada aliran lendir dari vaginanya. Otot liang itu berkontraksi. Inikah orgasme, hebat sekali, dan aku melihatnya dari dekat. Tak kusia-siakan lendir yang mengalir, kuhisap dan kutelan. Rasanya lebih enak dari sperma. Tubuh Tante Ilya yang bergoyang-goyang akhirnya tenang kembali. Jepitan pahanya mulai melemah. Sudah selesaikah permainan ini. Sayang sekali, karena penisku mulai ereksi lagi. Namun, ya sudah. Kucium mesra vaginanya seperti aku mencium bibirnya, toh sama-sama bibir. Tante Iya tersenyum. Bibirnya berkata "Terima kasih," namun tak mengeluarkan suara.
"Sama-sama Tante. Tante juga hebat koq," balasku. Akupun mencari celana dalamku. Ketika hendak memakainya Tante menahanku.
"Lho, koq sudahan...?"
"Tante kan cape, kapan-kapan saja lagi," kataku berambigu. Seolah menyalahkannya karena permainan ini berakhir, namun mesih mengharap kelanjutannya.

"Nggak koq. Istirahat sebentar juga seger lagi," balasnya. Dia menegok ke arah TV dan berseru,
"Main di sini saja, seperti itu." Gambar di film itu merangsang kami. Wanita berpayudara besar terlentang diatas meja kantor. Diatasnya laki-laki dengan penis panjang dan besar menyetubuhi payudaranya. Tangan si wanita menekan payudaranya sendiri agar merapat, dan penis itu melewati celahnya. Kupikir pasti asyik sekali. Ternyata blue film selain bisa menaikkan rangsangan, juga bisa sebagai contoh. Aku menjilati dulu payudara Tante Ilya, agar basah dan lengket. Tak lupa dengan hisapan-hisapan di putingnya. Setelah merasa cukup, aku duduk di muka payudara itu.

Tante Ilya merapatkan celah payudaranya. Dia tersenyum senang. Aku mulai dengan pelan memasuki celah payudara, seakan itu adalah liang vagina. Uff, sensasinya luar biasa. Aku mulai memajumundurkan penis dengan irama. Ujung penisku terlihat saat aku maju. Kalau klimaks, pasti spermanya sampai ke wajah Tante. Tanganku ikut memegang payudara untuk menguatkan hujaman penis. Kadang aku menarik-narik puting susu.

"Sudah dong, Tante ingin sepong lagi kontol kamu." Wah, ternyata Tante menyebut alat vital dengan bahasa slang Jakarta, aku makin bernafsu saja. Kusudahi walaupun agak terpaksa. Sebenarnya aku rela begitu terus hingga ejakulasi. Penisku mantap setelah ejakulasi awal di mulut Tante tadi. Aku cium mesra lagi dua puting itu. Payudara hebat. Iseng, aku masukkan puting yang tegak itu ke lubang penisku. Ow, ternyata pas sekali. Aku masukkan bergantian, naik turun dan memutarnya.

"Lho, koq pentil tetek Tante jadi seperti kontol sih. Kontol kamu malah jadi memek. Lucu ah." Buat aku yang biasa berbahasa sopan, hal ini bukannya menimbulkan penolakan tapi malah penyegaran. Berbicara kotor saat bersetubuh kadang dapat menjadi pelumer kekakuan. Aku mencium bibirnya, mengangkat paha di lehernya, kemudian menyerahkan lagi penisku. Dihisap dan jilat lagi, seperti tak puas saja. Posisiku duduk tak enak. Aku tak bisa duduk karena akan menekan lehernya, tangankupun tak bisa memajumundurkan kepalanya. Oh, ada sandaran tangan. Empuk lagi. Apalagi kalau bukan payudara. Sambil aku meremas-remasnya, penis seperti diremas-remas juga. Tante Ilya mengeluarkan kemaluanku sebentar, mengajak posisi 69. Hm, kupikir boleh juga. Maka aku berganti posisi lagi. Tubuhku menghadap Tante Ilya, tapi saling berlawanan. Penisku di mulutnya, vaginanya di mulutku. Sampai beberapa saat kami melakukan itu. Aku tak tahu apakah Tante mendapat orgasme lagi, tapi dia sempat diam mengulum penisku, pahanya menekan rapat kepalaku, tapi tak ada cairan yang keluar.

"Saka, berhenti dulu deh." serunya. Padahal aku sedang asyik dengan posisi ini. Huh, selalu dia yang mengatur permainan. Aku merasa sedikit direndahkan sebagai laki-laki. Tante Ilya berdiri menuju ke dapur. Rupanya dia minum air dingin. Apakah oral sex menyebabkan dehidrasi. Aku merasa biasa saja. Aku duduk menikmati blue film yang masih menyala. Sex party. Dua pria dengan 5 wanita membentuk suatu rantai. Diawali dengan wanita 1 yang terlentang karena vaginannya dihisap oleh wanita 2. Wanita 2 nungging dan payudaranya dihisap pria 1, sementara vaginanya dipermainkan oleh tangan pria itu. Pria 1 terlentang, keenakan karena penisnya dihisap wanita 3 dalam keadaan nungging. Wanita 3 yang nungging itu vaginanya dijilati wanita 4. Tidak itu saja, wanita 4 juga memakai vibrator berbentuk penis untuk lebih merangsang wanita 3. Sementara itu, wanita 4 yang terlentang itu vaginanya disetubuhi oleh penis, oleh wanita 5! Ya, wanita 5 itu memakai alat berbentuk penis yang dipasang di vaginanya. Aneh sekali. Lebih aneh lagi karena wanita 5 juga disetubuhi oleh pria 2, bukan di vagina, tapi di anus.

Jadi, keduanya bergoyang seirama sambil pria itu merangsang payudaranya. Kelihatannya seru sekali. Seks massal, saya tak tahu kapan bisa ikut seperti itu. Ini saja yang merupakan pengalaman seks yang pertama, saya belum memasukkan penis ke vagina. Tante Ilya datang. Membawa dua gelas air es dan menyodorkan dua tablet yang kuduga obat kuat. Kami meminumnya satu-satu. Tante memperhatikanku lalu melihat film itu.
"Kita ngentot beneran, yuk," ajaknya. Kupingku panas mendengarnya. Terus terang aku ingin mencobanya, tapi juga sekaligus takut. Takut harus melepas keperjakaanku, takut Tante hamil dan aku harus bertanggung jawab, takut AIDS. Tapi, demi melihat tubuh bugil di depanku yang meminta, pengaruh seks massal di film, obat kuat, dan mendengar kata "ngentot". Aku menggangguk saja.

"Tapi jangan di sini, nanti cipratannya kemana-mana," kata Tante.
"Di bathtub yuk." Apa, rumah sekecil ini ada bathtub-nya. Akupun menurut saja. "Tante, punya pengaman nggak?" tanyaku hati-hati.
"Oh, kondom. Ngapain pakai kondom sih, kurang terasa gesekannya," katanya memberi alasan. Tak mungkin kubilang takut HIV AIDS, walau aku nggak berani yakin bahwa Tante Ilya benar-benar bersih. Suaminya pelaut!
"Takut menghamili istri orang Tante, sayakan belum bekerja, belum bisa tanggung jawab," jawabku. Uff, untung ada alasan yang masuk akal.
"Sebentar tante cariin," jawabnya. Aku masih menonton blue film itu, sementara tanganku mempertahankan agar penis ini tetap tegak 100%. Kalau dalam kejadian biasa tak akan kau temui seorang tante-tante keluar masuk kamar telanjang bulat. Membuka laci-laci, membawa gelas ke tempat cuci piring, mengelap sofa yang terkena sperma dengan dasternya, kemudian berdiri di depanmu.

"Nggak ada, Saka. Ngg, nanti keluarin jangan dalam memek. Sudahlah, bisa diatur," katanya beralasan. Aku tampak sedikit bingung. Itu diartikannya aku bimbang, maka Tante Ilya bergerak aktif. Dia memegang kemaluanku seperti memegang tanganku, untuk mengajak sambil mematikan TV. {Kesempatan tak datang dua kali Ia bisa ada didepan mata, tinggal kau meraihnya Atau palingkan muka, terserah. Semua pilihanmu Ambil. Tidak. Ambil. Tidak. Ambil, nyali siapkan Tidak, beri alasan} Okelah. Lihat saja nanti, pikirku. Lucu juga caranya mengajak dengan menggandeng penis itu. Kami ke kamar mandinya. Bathtub-nya cukup besar, terletak di pojok. Pantas dia betah di rumah, yang begini bisa buat menyenangkan hati. Air mulai diisi, panas dan dingin menjadi hangat. Kami mulai lagi. Di bawah shower itu berpelukan sambil meraba dan menyabuni.

Nikmat sekali menyabuni payudaranya, senikmat disabuni penisku. Tak ada yang terlewatkan, termasuk vagina dan anus. Ketika air mulai penuh, kami berendam. Airnya tak diberi busa. Nyaman sekali. Lalu kami mulai saling merangsang, meninggikan tensi kembali. Tante Ilya mengocok penisku dalam air, sementara aku meraba-raba vaginanya. Tak berapa lama dia duduk di pinggiran bathtub. Kelihatannya dia ingin vaginanya dijilat. Aku merangkak menjilatinya. Cairannya mulai keluar lagi.

"Pakai tangan juga dong," pintanya lanjut. Aku menuruti saja. Kukocok dengan telunjuk kananku. Kucoba telunjuk dan jari tengah, semakin asyik. Tangan kiriku mengusap klitorisnya. Tante memejamkan matanya menahan nikmatnya. Sebelum berlanjut lebih jauh, Tante menghentikan. Membalik badannya menjadi menungging dan membuka pantatnya. Ternyata dari tadi aku belum mengeksplorasi daerah anus. Akupun mencobanya. Kujilat anusnya, reaksi Tante mendukung. Kujilat-jilat lagi, dari anus hingga vagina. Lalu kocoba masukkan dua jariku lagi ke vaginanya dan mengocoknya. Jari telunjuk tangan kiriku kucoba masuk liang anus. Agak seret awalnya. Setelah Tante lebih rileks baru jariku bisa masuk. Menarik sekali. Lidahku menjilat-jilat lagi. Daerah pantat yang menggembung berdaging kenyal seperti payudara. Akupun suka. Tante Ilya menunjukkan reaksi seperti akan orgasme lagi. Desahannya mulai keras.

"Saka, Tante mau keluar lagi nih. Cepat! Pakai kontolmu. Ayo masukin kontolmu. Entot Tante, Saka," jeritnya tertahan putus-putus. Astaga, dirty talk sekali. Membuat aku makin terangsang. Aku siapkan penisku, walau agak bingung karena tak ada pengalaman. Tante Ilya mengocok vaginanya sendiri sambil menungguku memasukkan penis. Penis sudah kuarahkan ke vagina. Keputusanku bulat, akan kusetubuhi walaupun tanpa kondom. Tapi ada yang mengganjal.
"Tante, nggak bisa masuk, nih," tanyaku bingung.

"Tekan saja yang kuat. Tapi pelan-pelan." Aku ikuti sarannya, tetap saja susah. Dasar pemula. Jadinya penisku hanya merangsang mulut vagina saja, mengggosok klitoris, tapi itu malah membuat Tante makin terangsang.
"Ayo masukkan, Tante sudah hampir keluar," Dengan tenaga penuh aku coba lagi. Dan, berhasil. Kepala penisku bisa masuk walau sempit sekali. Tante Ilya bergoyang untuk merasakan gesekan karena klimaksnya semakin dekat. Masa aku hanya maju mundur dengan kepala penis. Bagian yang lain juga menuntut bagian. Ketika aku coba masukkan lebih dalam lanjut pantat Tante bergoyang hebat. Otot vaginanya seperti meremas-remas. Penisku yang walau baru kepalanya saja menikmati remasan vagina ini. Dan Tantepun orgasme. Setelah itu dia jatuh dan berbaring dalam bathtub. Aku sudah melepaskan penisku.

"Tante, maafin saya ya," kataku agak menyesal. Aku belum memasukkan seluruh penisku dalam vaginanya saat dia orgasme.
"Nggak apa-apa. Kepala kontolnya sudah nikmat, koq. Ayo kita coba lagi. Sekarang kontol kamu mau dikulum, nggak?" Tak usah bertanya. Ganti aku yang duduk di tepi bathtub. Tante merangkak dan mengulum penisku. Ah, pose seperti ini membuat aku nyaman, seakan aku yang punya kuasa. Aku merasa akulah yang memerintahkan Tante melakukan oral seks padaku, dan dia menjadi budakku yang merangkak untuk memenuhi kemauan tuannya. Di ujung tubuh yang merangkak itu ada pantat. Wah, empuknya seperti payudara. Akupun menjamah dan meremas-remasnya. Kadang aku membandingkan dengan satu tangan tetap meremas pantat, tangan yang lain meremas payudara. Kenikmatan ganda. Kelihatannya Tante juga menikmati sekali.

Ombak berdebur kecil di bathtub itu. Kurasakan penisku mulai megeluarkan tanda akan klimaks. Tumben cukup lama sekali aku bertahan. Mungkin karena obat yang diberikan Tante. Kuhentikan gerakan Tante, kuanggukkan kepalaku ke wajahnya yang masih mengulum penisku. Budak yang memuaskan tuannya. Tante berdiri, aku mengikutinya. Tante membuka vaginanya, aku mengarahkan penisku. Kugosok-gosokkan ke vaginanya. Kutemukan klitosinya. Seperti puting susu, kumasukkan klitoris itu ke dalam lubang penisku. Rangsangannya kuat, sampai-sampai Tante mau jatuh lagi seperti ketika klitorisnya kuhisap kuat-kuat. Ok, sekarang aku mulai memasukkan penisku. Tante Ilya menggenggam penisku, mengarahkan agar bisa masuk. Aku seperti orang bodoh yang harus diajari untuk melakukan gerakan yang kupikir semua laki-laki juga bisa. Ternyata tidak mudah. Dengan susah payah akhirnya kepala penisku masuk.

Seperti tadi, kucoba goyang maju mundur untuk membuatnya siap melanjutkan misinya. Suasana begitu sepi, mungkin sudah malam. Tapi hujan masih menetes satu-satu. Sunyi. Seakan memberi waktu untuk sesuatu yang besar. Penerobosan penis Taksaka ke vagina Tante Ilya. dan juga hilangnya keperjakaanku. Saat itu, tiba-tiba ada ketukan di pintu rumah. Tok...tok...tok... Dan kami diam seperti hendak dipotret saja,

"Ilya...Ilya, ini aku. bukain pintu dong...", teriak seorang laki-laki. Kami bagai tersambar geledek, mematung dalam badai. Hujan tadi berlanjut menjadi badai akibat suara itu.
"Mas Ridwan...", bisik Tante Ilya pelan. Penisku langsung lemas, keluar begitu saja dari vagina yang telah susah payah berusaha dijebolnya.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Aku akan berpura-pura..."
"Kalau aku?"
"Sembunyi saja."
"Dimana?" Kata-kata kami meluncur cepat nyaris tak bersuara. Kami berusaha berfikir. Agak sulit, karena sedari tadi hanya menggunakan nafsu.

"Ilya, kamu tidur ya? Bukain dong," suara Om Ridwan seakan detik-detik bom waktu yang siap meledak. Wajah Tante Ilya sedikit cerah.
"Aku ada akal..."
"Gimana?" tanyaku tak sabar.
"Kamu di sini saja dulu. Jangan keluar sebelum kupanggil." Tante Ilya merendam lagi dirinya dalam bathtub, kemudian keluar. Aku menutup pintu kamar mandi, tidak terlalu rapat agar bisa melihat keadaan. Kulihat Tante Ilya membawa pakaianku dan menengelamkannya dalam tumpukan jemurannya. Mengelap lagi sofa dengan dasternya, melemparkan daster itu ke tumpukan jemuran. Kemudian membuka pintu. Apa yang dilakukannya? Dia sudah gila? Aku bisa mati jika suaminya tahu kami telah berbuat. Belum sih, tapi hanpir menyetubuhi istrinya. Lalu?

Bersambung....